Rabu, 27 April 2011

Memancing ikan

Memancing secara luas adalah suatu kegiatan menangkap ikan yang bisa merupakan pekerjaan, hobi, olahraga luar ruang (outdoor) atau kegiatan di pinggir atau di tengah danau, laut, sungai dan perairan lainnya dengan target seekor ikan. Atau bisa juga sebagai kegiatan menangkap ikan atau hewan air tanpa alat atau dengan menggunakan sebuah alat oleh seorang atau beberapa pemancing.
Namun dalam praktik dan dari hasil buruannya, tidak semua kegiatan memancing ikan selalu membuahkan hasil seekor ikan, memancing ikan dapat juga diartikan tidak saja untuk menangkap ikan namun juga kodok, penyu, ikan, cumi-cumi, gurita, bahkan ikan paus.

Dalam pengertian olahraga memancing selain mata kail, alat pancing terdiri dari bermacam alat pendukung, seperti:
  • Pelampung pancingan, bisa terbuat dari kayu, busa, gabus atau plastik selama sesuai dengan penggunaannya sebagai pelampung yang ringan dan dapat mengambang di atas permukaan air.
  • Pemberat umpan pancing, umumnya menggunakan bahan dari timah agar umpan dapat tenggelam di bawah air.
  • Rol pancing, biasanya diletakkan pada pangkal dari tongkat pancing (joran pancing) yang berguna sebagai tempat menggulung tali senar pancing dan terdapat pemutar pada bagian sampingnya, tapi dapat pula rol pancing digunakan tanpa tongkat pancing dengan cara tali senar digulung secara manual oleh tangan.
  • Tali senar pancing, digunakan untuk memasang mata kail sekaligus sebagai media penghubung antara pemancing dengan ikan yang terpancing.
  • Tongkat pancing, digunakan untuk tempat rol pancing pada pangkalnya dan biasanya tongkat pancing tidak digunakan pada area berair dalam atau pada saat memancing dasar.
  • Umpan pancing, terdiri dari beragam variasi, mulai dari umpan buatan misal berupa ramuan hingga umpan alam hidup ataupun mati misalkan ikan kecil, udang, cacing atau cumi-cumi
  • Mata kail adalah salah satu alat untuk menangkap ikan yang paling populer dan digunakan untuk memancing.

Sumber : id.wikipedia.org

Main Orkesan


بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

السلام عليكم dan Selamat Sejahtera
O
Cerit ini diawali dengan kepergianAyahanda kami Muhammad Ibrahim bin Haji Hasan pergi merantau ke Provinsi Lampung, pada awal tahun 1970-an. Penulis saat itu masih kelas III Sekolah Dasar Negeri 200 Lubai, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan.

Semenjak kepergian ayah kami pergi merantau, penulis merasa kesepian. Untuk menghilangkan rasa kesepian ini penulis terinpirasi untuk membentuk sebuah kelompok orkes-orkesan. Mengapa dinamakan kelompok orkes-orkesan dikarenakan kami bermain musik bukan menggunakan alat musik yang sesungguhnya. Melainkan kami bermain orkesan hanya menggunakan benda-benda yang bukan alat musik sesungguhnya.

Tempat kami bermain musik didepan rumah keluarga kami yang terletak di desa Baru Lubai (Jiwa Baru) Kecamatan Lubai Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan. Setiap malam mulai pukul 19.00 WIB sampai dengan pukul 21.00 WIB kami selalu bermain orkesan. Lagu lagu yang nyanyikan adalah lagu dangdut yang lagi populer pada tahun 1970 seperti lagu Kebina Ria, Untukmu, Rindu Bayangan dan sebagainya.

Susunan personal Orkesan Lubai Nada sebagai berikut :
  1. Amrullah pemain Gendang (Derigen plastik)
  2. Muhammad Hoyin pemain Akordion (Suara mulut)
  3. Jon Abul pemain Gitar Ritem (Suara mulut)
  4. Mustakim pemain Gitar Melodi (Suara mulut)
  5. Muhammad Hafiz pemain Gitar Bass (Suara mulut)
  6. Yonadi Tambourine/Kecrek (Kaleng Sardinces di isi Kelereng)
  7. Isiqomah (Penyanyi)
  8. Nirda (Penyanyi)
  9. Hilyamah (Penyanyi)
  10. Zuryanah (Penyanyi)
Dikarenkan usia kami yang masih belia, ketika kami bermain Orkesan tidak mengerti apa makna Musik itu sesungguhnya. Kami hanya bermain secara otodidak saja, mengikuti irama lagu Dangdut yang kami dengar melalui piringan hitam maupun saat kami menonton pertunjukan musik Dangdut secara langsung pada saat ada pesta pernikahan di desa Jiwa Baru Kecamatana Lubai. Saat itu biduanita yang populer jika ada pertunjukkan musik Dangdut didesaku yaitu Siti Norhaliyah.

Penulis sebagai pemimpin kelompok Orkesan ini, saat itu tidak mengerti bahwa bermain musik harus merupakan ungkapan isi hati manusia dalam bentuk melodi, ritme, harmoni yang dapat dinikmati melalui pendengaran. Saat bermain Orkesan hanya menirukan suara dari alat musik yang sesungguhnya dan sesuai dengan iramanya misalnya Rindu Bayangan liriknya sebagai berikut :

Tiada seorangpun tau
Betapa hatiku selalu merindu
Rindukan bayangan wajahmu...
Setahun kini telah berlalu

Wajahmu tak lagi sejenak kujumpa
Hilangkan harapanku musnah...

Reff

Hancurlah segala harapanku
Mencapai mahligai kencana
Mungkin ini takdir yang kuasa
Yang harus aku terima...

Senin, 25 April 2011

Tarian Gending Srwijaya

Tarian ini digelar untuk menyambut para tamu istimewa yang bekunjung ke daerah tersebut, seperti kepala negara Republik Indonesia, menteri kabinet, kepala negara / pemerintahan negara sahabat, duta-duta besar atau yang dianggap setara dengan itu. Untuk menyambut para tamu agung itu digelar suatu tarian tradisional yang salah satunya adalah Gending Sriwijaya, tarian ini berasal dari masa kejayaan kemaharajaan Sriwijaya di Kota Palembang yang mencerminkan sikap tuan rumah yang ramah, gembira dan bahagia, tulus dan terbuka terhadap tamu yang istimewa itu.
Tarian Gending Sriwijaya digelarkan 9 penari muda dan cantik-cantik yang berbusana Adat Aesan Gede, Selendang Mantri, paksangkong, Dodot dan Tanggai. Mereka merupakan penari inti yang dikawal dua penari lainnya membawa payung dan tombak. Sedang di belakang sekali adalah penyanyi Gending Sriwijaya. Namun saat ini peran penyanyi dan musik pengiring ini sudah lebih banyak digantikan tape recorder. Dalam bentuk aslinya musik pengiring ini terdiri dari gamelan dan gong. Sedang peran pengawal kadang-kadang ditiadakan, terutama apabila tarian itu dipertunjukkan dalam gedung atau panggung tertutup. Penari paling depan membawa tepak sebagai Sekapur Sirih untuk dipersembahkan kepada tamu istimewa yang datang, diiringi dua penari yang membawa pridon terbuat dari kuningan. Persembahan Sekapur Sirih ini menurut aslinya hanya dilakukan oleh putri raja, sultan, atau bangsawan. Pembawa pridon biasanya adalah sahabat akrab atau inang pengasuh sang putri. Demikianlah pula penari-penari lainnya.

Sumber : id.wikipedia.org 


Tarian Gending  Sriwijaya yang menjadi kebanggan warga Sumatera Selatan     

     

Sabtu, 23 April 2011

Dataran Bukit Jehing

       
Gambar serumpun Bambu tanaman Ayahanda Muhammad Ibrahim, dilahan pertanian Dataran Bukit Jehing desa Jiwa Baru Kecamatan Lubai

Dataran Bukit Jering/Jehing adalah suatu tempat untuk lahan pertanian terletak Desa Kurungan Jiwa (Jiwa Baru) Kecamatan Lubai Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan selembar kertas yang bermaterai cukup, Ibunda penulis Nafisyah binti Wakif bin Kenaraf atas kesepakatan mereka bersaudara bahwa ibunda kami mendapatkan tanah warisan di Dataran Bukit Jering.

Ayahanda dan Ibunda telah beberapa kali memanfaat tanah ini dengan alih fungsi sebagai berikut :

Cerita Kebun Karet...!

Cerita ini diawali dengan pembukaan lahan Kebun Karet pada tahun 1954. Ayahanda dan Ibunda penulis membuka lahan pertanian di dataran Bukit Jehing, dengan tanaman Karet/Para penghasil getah latek. Luas kebun karet ini adalah 70 (tujuhpuluh) Hektar Area. Izin pembukaan lahan dari Kepala marga Lubai suku 1 ditanda tangani Pasirah Syarkowi. Dari pembukaan lahan sampai dengan penanaman serta pemeliharaan orangtua penulis dibantu oleh beberapa karyawan petani.
 
Kebun Karet dilahap si jago merah...!
Areal perkebunan Karet ini habis dilalap api. Peristiwa menyedihkan ini terjadi pada tahun 1962. Kejadian ini bermula ketika seorang petani membakar lahan peladangannya. Pada saat kejadian ini, musim kemarau yang panjang. Api dengan sangat mudah membakar kayu, ranting dan daun di peladangan maupun kebun Karet. Petani yang membakar lahan pertanian untuk dijadikan ladang padi itu, entah mengapa? Adakah faktor kesengajaan ataupun faktor ketidak sengajaan, sehingga api dari lahan pertanian dapat menyambar keareal perkebunan Karet keluarga kami.

Biang kerok kebakaran...!

Ayahanda bercerita kepada penulis : Petani itu berinitial M, berdomisili di desa Kurungan Jiwa Lubai, asal usulnya dia seorang pendatang lain desa, yang beristerikan perempuan dari desa Kurungan Jiwa Lubai. Setelah peristiwa kebakaran kebun Karet keluarga kami, beberapa hari kemudian dia berkunjung kerumah Ayahanda penulis, dengan membawa : seorang Ayam Jago, sebatang tembilang dari besi. Dia berucapkan sebagai berikut : "Ayam Jago ini merupakan simbol pedamaian, Tembilang ini simbol penyerahan diriku. Jika permasalahan ini dapat diselesaikan dengan kekeluargaan kita berdamai, maka terimalah Ayam Jago permberian saya ini. Akan tetapi apabila permasalahan ini tidak dapat diselesaikan dengan kekeluargaan, saya siap mengambil resiko yaitu pergunakan sebatang Tembilang itu untuk memukul saya.

Terhadap peristiwa ini Ayahanda penulis bersikap bijaksana dan arif. Beliau tidak melakukan tindakan apa-apa yang merugikan pihak yang membakar lahan kebun Karet keluarga kami. Peristiwa kebakaran kebun Karet ini, tidak membuat Ayahanda penulis salah tindakan, karena beliau menyerahkan permasalahannya kepada Allah azza wajalla.

Kebun Serai, tahun pembukaan lahan 1962

Ayahanda dan Ibunda penulis membuat sebidang kebun Sehai Jambi bahasa Lubainya, dalam bahasa Indonesia Serai Wangi. Nama Umum, Indonesia: Serai wangi, sereh wangi, Inggris: Citronella grass, nardus grass, Melayu: Rumput citronella, Vietnam: Cu sa, Thailand: Ta khrai hom, Cina: Ya xiang mao, Jepang: Kou suigaya. Klasifikasi Kingdom: Plantae (Tumbuhan) Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas: Liliopsida (berkeping satu / monokotil) Sub Kelas: Commelinidae Ordo: Poales Famili: Poaceae (suku rumput-rumputan) Genus: Cymbopogon Spesies: Cymbopogon nardus L. Rendle.

Kebun Serai berproduksi tahun 1962 s.d. 1964.

Pada mulanya usaha orang tua kami membuka lahan pertanian kebun Serai Wangi ini berjalan lancar. Dari proses penanam, panen dan produksi minyak Serai berjalan sesuai dengan rencana. Seiring dengan lancar produksi minyak Serai, perekonomian keluarga kami jadi semakin mapan.

Kebun Serai tidak berproduksi 1965 - 1995.

Kebun Serai Wangi keluarga kami ini tidak lagi dapat memproduksi minyak Serai Wangi. Keberadaan kebun Serai Wangi ini masih dapat dipertahankan. Walaupun kami telah berdomisili di Provinsi Lampung, namun keberadaan tetap kami pantau. Tahun 1971 Paman Tauzi bin Haji Muhammad Dum dan Paman Dani Pasirah Rambang Kapak tengah 2 yang berdoomilis di Tanjung Rambang pernah memeriksa kebun Serai ini. Rencananya mau diusahakan kembali agar dapat diadakan kembail alat penyulingan. Namun sampai tulisan ini dibuat tidak ada kejelasannya tindak lanjut dari rencana tersebut.

Berpindah penguasaan 1995 s.d sekarang.

Dilahan perkebunan Serai Wangi itu, saat ini telah beralih fungsi dan beralih yang mengelolanya. Pengolola bekas areal perkebunan Serai Wangi keluarga kami itu telah diambil oleh warga desa Jiwa Baru, Kecamatan Lubai, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan

Jumat, 22 April 2011

Mancing ikan Seluang

Ikan Seluang merujuk kepada kesemua spesies Rasbora spp.. Ikan seluang merupakan ikan yang banyak terdapat di sungai ASEAN, termasuk Malaysia, Brunei, danIndonesia. Ikan ini bersisik seperti ikan lampam tetapi berbentuk tirus seperti anak ikan Jelawat. Bersaiz antara 2 hingga 4 inci.

Macing ikan Huan

Ikan gabus adalah sejenis ikan buas yang hidup di air tawar. Ikan ini dikenal dengan banyak nama di pelbagai daerah: aruan, haruan (Mly.,Bjn), kocolan (Btw.), bogo (Sd.), bayong, bogo, licingan (Bms.), kutuk (Jw.), dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris juga disebut dengan berbagai nama seperti common snakehead, snakehead murrel, chevron snakehead, striped snakehead dan juga aruan. Nama ilmiahnya adalah Channa striata (Bloch, 1793).

Ikan darat yang cukup besar, dapat tumbuh hingga mencapai panjang 1 m. Berkepala besar agak gepeng mirip kepala ular (sehingga dinamai snakehead), dengan sisik-sisik besar di atas kepala. Tubuh bulat gilig memanjang, seperti peluru kendali. Sirip punggung memanjang dan sirip ekor membulat di ujungnya.
Sisi atas tubuh --dari kepala hingga ke ekor-- berwarna gelap, hitam kecoklatan atau kehijauan. Sisi bawah tubuh putih, mulai dagu ke belakang. Sisi samping bercoret-coret tebal (striata, bercoret-coret) yang agak kabur. Warna ini seringkali menyerupai lingkungan sekitarnya. Mulut besar, dengan gigi-gigi besar dan tajam.

Macing ikan Mujair

Mujair adalah sejenis ikan air tawar yang biasa dikonsumsi. Penyebaran alami ikan ini adalah perairan Afrika dan di Indonesia pertama kali ditemukan oleh Pak Mujair di muara Sungai Serang pantai selatan Blitar, Jawa Timur pada tahun 1939. Meski masih menjadi misteri, bagaimana ikan itu bisa sampai ke muara terpencil di selatan Blitar, tak urung ikan tersebut dinamai ‘mujair’ untuk mengenang sang penemu.
Nama ilmiahnya adalah Oreochromis mossambicus, dan dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Mozambique tilapia, atau kadang-kadang secara tidak tepat disebut "Java tilapia".

Macing ikan Pungkut

Macing ikan Keli

Ikan Keli adalah ikan air tawar yang banyak terdapat di negara-negara ASEAN, khususnya di Malaysia. Di sesetengah tempat khususnya di Selangor, ikan keli disebut sebagai "ikan semilang". Bagi orang Perak, ikan semilang hanya hidup di laut.
Ikan keli boleh didapati di kebanyakan sawah padi, contohnya di Pahang, di Paya Pahang Tua, Mambang, Ganchong dan Paloh Hinai, Pekan. Ia juga banyak terdapat di Tasik Chini, Paya Bungor atau Bera. Keli juga menghuni di kuala anak sungai kecil seperti Sungai Lepar di Paloh Hinai hingga ke Jerantut dan Kuala Lipis, selain di Sungai Bera dan Sungai Serting.

Ikan Keli yang dijual di pasar.
Antara jenis-jenis ikan keli yang boleh didapati adalah:-
  1. Ikan Keli Kayu
  2. Ikan Keli Bunga
  3. Ikan Keli Eksotika
  4. Ikan Keli Limbat
  5. Ikan Keli Mata Kati
  6. Ikan Keli Rusia
  7. Ikan Keli Afrika
  8. Ikan Keli Jeram
  9. Ikan Keli Hutan

Pulang Kampung ke 10

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
السلام عليكم dan Selamat Sejahtera

 Tugu Gajah Kota Bandar Lampung

Pulang kampung ke 9 maksudnya sejak penulis menjadi perantau dan tinggal diperantauan Provinsi Lampung, saya melakukan perjalanan pulang kampung di Kecamatan Lubai Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan, pada kesempatan ini merupakan ke 9.  
Misi pulang kampung ke 9 adalah memperat tali silaturrahim antara penulis dan keluarga dengan sanak keluarga di desa Gunung Raja Kecamatan Lubai Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan yang merupakan tempat nenek penulis dilahirkan dan sanak keluarga di desa Tambang Rambang Kecamatan Rambang Kuang Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan.
Catatan perjalanan ini merupakan sekelumit cerita, selama melakukan aktivitas selama melakukan perjalanan pulang kampung

Tanggal 11 September 2010, Hari Sabtu :
  1. Berangkat dari Kota Bandar Lampung Provinsi Lampung, menuju Kab. Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan, tepat pukul 04.30 WIB. Pada kesempatan pulang kampung kali ini, penulis berangkat disertai dengan anggota keluarga yang lengkap. Kami sekeluarga berangkat mengguna kendaraan roda 4 merk Xenia, meluncur dengan teratur tanpa hambatan dikarenakan saat itu lalu lintas belum padat dipenuhi oleh kendaraan. Hari ini merupakan Idul Fitri, hari kedua; 
  2. Sholat Subuh di Desa Terbangi Besar - Kab. Lampung Tengah, pukul 05.30 WIB. Setelah melakukan sholat subuh beberapa saat dan pamitan pada pengurus Masjid yang letaknya persis dipinggir jalan lintas tengah Sumatera, kami melanjutkan perjalanan kembali;
  3. Tiba di Kotabumi - Kabupaten Lampung Utara - Provinsi Lampung, pukul 07.00 WIB; 
  4. Tiba di Kota Batu Raja Kabupaten Ogan Komering Ulu - Provinsi Sumatera Selatan, pukul 09.30 WIB saat Matahari sudah mulai memancarkan sinarnya yang terasa menyengat kulit;
  5. Tiba di Desa Gunung Raja Lubai - Kabupaten Muara Enim - Provinsi Sumatera Selatan, Pukul 11.30 WIB langsung menuju kerumah Paman Teguh dan Bibi Hildayah binti Wakif, adik kandung Ibu penulis;
  6. Santap siang di rumah Paman M. Teguh, di Desa Gunung Raja Lubai, pukul 12.30 WIB;
  7. Sholat Zuhur dilanjutkan Sholat Asar dijamak Zuhur di Desa Gunung Raja, pukul 12.35 WIB;
  8. Mandi sore di pemandian umum Sungai Lubai, Desa Gunung Raja, pukul 18.15 WIB;
  9. Sholat Maghrib berjemaah dilanjutkan Sholat Isyak dijamak Maghrib di Desa Gunung Raja Lubai, Pukul 18.20 WIB;
  10. Santap malam di rumah Paman M. Teguh, di Desa Gunung Raja, pukul 20.00 WIB;
  11. Halal bi Halal di rumah Rita Iryana anak Paman Teguh, di Desa Gunung Raja, puluk 20.30 WIB;
  12. Istirahat, tidur di rumah Paman M. Teguh, di Desa Gunung Raja Lubai, pukul 23.00 WIB.
Tanggal 12 September 2010, Hari Minggu :
  1. Sholat Subuh berjemaaah di Desa Gunung Raja Lubai, pukul 05.00 WIB;
  2. Minum Teh di rumah Paman M. Teguh, di Desa Gunung Raja Lubai pukul 06.30 WIB;
  3. Silaturrahim dan sarapan pagi di rumah Adik Muslimin, di Desa Gunung Raja Lubai dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 09.30 WIB. Adik Muslimin adalah anak paman Lukman bin Abu Nikmat bin Aliakim bin Sinar bin Riamad bin Natakerti bin Kencana Dewa, zuriyat dari Ayahanda penulis;
  4. Halal bi Halal di rumah Kakak Ridzwan, di Desa Jiwa Baru Lubai, pukul 10.00 WIB;
  5. Halal bi Halal di rumah Adik Imran, di Desa Jiwa Baru Lubai,pukul 10.30 WIB;
  6. Halal bi Halal di rumah Adik Milnan bin Daud bin Wakif, di Desa Jiwa Baru, pukul 11.00 WIB;
  7. Halal bi Halal di rumah Paman Sukardin, di Desa Jiwa Baru Lubai, Pukul 11.30 WIB;
  8. Sholat Zuhur dilanjutkan Sholat Asar dijamak Zuhur di Desa Gunung Raja, pukul 12.30 WIB;
  9. Halal bi Halal di rumah Kakak Kartobi, di Desa Tambang Rambang, pukul 14.00 WIB. Kakak Kartobi adalah saudara sepupu istei penulis, zuriyat dari Ayahanda mertua;
  10. Ziarah kemakam Kakek Haji Wahid, di Desa Tambang Rambang, pukul 14.30 WIB;
  11. Berangkat dari desa Tambang Rambang menuju Kota Palembang, pukul 14.45 WIB:
  12. Makan sore di RM. Tiga Saudara, di Indra Laya - Kab. Ogan Ilir, pukul 17.00 WIB;
  13. Mandi di rumah bibi Hajjah Siti Zalehah, di Kota Palembang, pukul 18.45 WIB;
  14. Sholat Maghrib dan dilanjutkan Sholat Isyak dijamak Maghrib di rumah bibi Hajjah Siti Zalehah, di Kota Palembang, pukul 18.30 WIB. Bibi Hajjah Siti Zalehah adik Ibu mertua penulis;
  15. Halal bi Halal di rumah Kakak Risman, di Kota Palembang, pukul 20.00 WIB;
  16. Istirahat, tidur di rumah bibi Hajjah Siti Zalehah, di Kota Palembang, pukul 23.00 WIB;
Monumen di Indralaya

Tanggal 13 September 2010, Hari Senin :
  1. Sholat Subuh di rumah bibi Hajjah Siti Zalehah, di Kota Palembang, pukul 05.00 WIB;  
  2. Sarapan pagi di rumah bibi Hajjah Siti Zalehah, di Kota Palembang, pukul 06.30 WIB; 
  3. Halal bi Halal di rumah Ayuk Sri, di Kota Palembang, pukul 07.00 WIB; 
  4. Berangkat dari Kota Palembang, menuju Kota Prabumulih, pukul 08.00 WIB;
  5. Makan Tekwan model di Toko Candy, di Kota Prabumulih, pukul 10.00 WIB;
  6. Berangkat dari Kota Prabumlih, menuju Kota Baturaja, pukul 10.15 WIB;
  7. Makan Siang di RM. Siang Malam, di Kota Batu Raja, pukul 12.45 WIB;
  8. Sholat Zuhur dan dilanjutkan Sholat Asar dijamak Zuhur di Musholla RM. Siang Malam, di Kota Batu Raja, pukul 13.00 WIB;
  9. Berangkat dari Kota Baturaja menuju Kotabumi, pukul 13.15 WIB;
  10. Tiba di Kotabumi, Kab. Lampung Utara, pukul 17.00 WIB;
  11. Tiba di Kota Bandar Lampung, pukul 19.30 WIB.

Selasa, 19 April 2011

Pulang kampung ke 9

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
السلام عليكم dan Selamat Sejahtera

   Pulang kampung ke 9 maksudnya sejak penulis menjadi perantau dan tinggal diperantauan Provinsi Lampung, penulis melakukan perjalanan pulang kampung ke desa Jiwa Baru di Kecamatan Lubai Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan, pada kesempatan ini merupakan yang ke sembilan. 
    Saat ini penulis berdomisili di Jalan Pangeran Antasari Nomor : 38 Tanjungkarang timur Kota Bandar Lampung Provinsi Lampung. Misi pulang kampung ke sembilan ini adalah mengurusi tanah untuk dijadikan lokasi Pesantren Almukhlishin. 
  Catatan perjalanan ini merupakan sekelumit cerita, penulis melakukan aktivitas selama melakukan perjalanan pulang kampung pada tahun 2010.

Hari Sabtu 7 Agustus 2010, berangkat pulang kampung.
    
   Stasiun Tanjungkarang merupakan pintu gerbang menuju pulang kampung. Tepat pukul 08.00 WIB rombongan kami yang terdiri dari : Kakak Madkhalur Rozzak, Penulis, Kakak perempuan, Anak tertua dan Anak menantu penulis menuju Stasiun Tanjungkarang. Kami berlima berangkat naik Kereta Api kelas Bisnis, penumpang cukup ramai. Saat ini kenyamanan naik Kereta Api tidak ada lagi, hal ini dikarenakan setiap Stasiun Kereta Api berhenti. Walaupun tempat duduk sudah tidak ada lagi, calon penumpang masih saja dipersilakan untuk membeli tiket.
    Ditengah perjalanan kami berlima makan siang, nasi bungkus yang kami bawa dari rumah. Dengan di iringi suara roda Kereta Api ditimpalan goyangan gerbong kekanan kekiri, santapan siang tanpa terasa sudah selesai. Penulis perkirakan untuk menghabiskan satu buah nasi bungkus jarak yang ditempuh Kereta Api lebih kurang 2 kilo meter.
    Tatkala waktu maghrib telah tiba, kami berlima menginjakkan kaki di Stasiun Pagar Gunung Kecamatan Lubai. Sangkut dan Arios anak dari Paman Sukardin telah menunggu sejak pukul 16.00 WIB. Dengan digonceng bersepeda motor oleh salah seorang pemuda dari desa Pagar Gunung penulis menuju ke Desa Jiwa Baru. Pukul 19.30 WIB, kami sampai dirumah Paman Sukardin. Kampung halamanku, kami kembali menghampirimu, oleh karena itu berilah kebaikkan kepada kami selama kami berada disini...

Hari Minggu 8 Agustus 2010, meninjau lokasi tempat Pesantren.
   Walaupun sesungguhnya badan masih terasa capek dan penat dikarenakan kurang tidur. pukul 08.30 WIB kami berlima pergi tanah untuk dijadikan lokasi Pembangunan Pesantren Almukhlishin. Lokasi tanah tersebut terletak didekat Sungai Muara Bening, Lebak Lubai desa Jiwa Baru Kecamatan Lubai Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan.


Gambar ini diabadikan dipinggir sungai Lubai dekat Muara Bening, desa Jiwa Baru. Tanah ini direncanakan lokasi berdirinya Pesantren Al Mukhlishin....
    Kami berlima bergotong royong membersihkan kayu kecil yang ada disekitar lokasi yang akan didirikan Pondok Pesantren Al Mulkhlishin. Tepat pukul, 11.30 WIB kami beristirahat dan penulis memimpin pembacaan doa kepada Allah SWT agar dilokasi yang kami bersihkan ini diridhoi untuk dijadikan tempat menuntut ilmu agama.
    Tujuan Pembangunan Pondok Pesantren Almukhlishin adalah untuk mengembangkan kreatifitas anak di Kecamatan Lubai dalam Pendidikan Agama Islam agar tumbuh berkembang menjadi nilai Spiritual yang handal disekitarnya. Ikut membina generasi bangsa terutama dalam memperoleh Pengetahuan Ilmu Agama Islam sebagai modal hidupnya dimasa mendatang. 
   Fasilitas yang akan dibangun adalah sarana Peribadatan yang sekaligus Pusat Kegiatan para Santri, Bangunan Pondok Pesantren Al Muklishin terdiri dari : ruang kelas yang merupakan sarana kegiatan belajar atau mengajar, Asrama Putra dan Putri sebagai tempat muqim para santri sekaligus untuk menunjang ketertiban belajar dan mengajar, Kantor Sekretariat, Perumahan Ustadz dan Ustadzah, Dapur Umum (DPU) dan Klinik Kesehatan.

Hari Senin 9 Agustus 2010, Gotong royong
   Dipagi yang tepat pukul 08.30 WIB kami ber-empat pergi tanah untuk dijadikan lokasi Pembangunan Pesantren Almukhlishin. Lokasi tanah tersebut terletak didekat Sungai Muara Bening, Lebak Lubai desa Jiwa Baru Kecamatan Lubai Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan.
   Kami berempat melanjutkan bergotong royong membersihkan kayu kecil yang ada disekitar lokasi yang akan didirikan Pondok Pesantren Al Mulkhlishin. Tepat pukul, 12.00 WIB kami beristirahat. Hari ini terjadi musibah kecil yaitu Diki Bagus Saputra disengat Tawon, sehingga badannya panas dingin. 

Hari Selasa 10 Agustus 2010, pergi ke Dataran Bukit Jehing
   Dengan menggunakan sepeda motor, pukul 10.00 WIB kami pergi ke Dataran Bukit Jehing suatu kawasan pertanian kebun Karet terletak di desa Jiwa Baru Kecamatan Lubai. Di kawasan ini memang tepat dinamakan Bukit dikarenakan permukaan tanah disini lebih tinggi dari permukaan tanah di sekelilingnya. 
  Apabila penulis kesini maka kenangan masa lalu seakan menjelma kembali. Masih terlintas ingatan penulis pada tahun 1970 tatkala Ayahanda mengajak penulis mengelilingi areal kebun Serai Wangi. Daun-daun Serai Wangi yang menghijau ditiup angin sepoi-sepoi, sungguh nyaman dipandang. Hamparan tanaman Serai Wangi itu, sangat jelas diperhatikan dari atas bukit. Penulis saat itu memetik buah Keremunting yang sudah matang, rasanya manis sekali.
   Kini pemandangan itu sudah berubah menjadi pohon Karet, milik siapa kami tak tahu jelas. Berdasarkan amanah dari kedua orang tua kami bahwa tanah mereka tidak ikhlas dirampas hak penggunaannya, maka kami kakak beradik sepakat tidak mengikhlas pengalihan fungsi dan hak guna tanah warisan ini. Segala tanam tumbuh yang berada diatas, kami ilegal. Dikarenakan kami belum mengikhlaskan pengalihan hak ini, segala sesuatu yang berhubungan dengan perubahan status ini apapun dalihnya, apapun kenyataannya maka kami menyerahkan permasalahan ini sepenuhnya kepada Allah Subahanahu wa ta'la.

Hari Rabu 11 Agustus 2010,pergi ke Sungai Sokhdian

   Video ini merupakan rekaman saat pergi ke lokasi Sungai Sokhdian suatu kawasan tempat mencari ikan dan lahan pertanian yang dikuasai sejak zaman nenek moyang penulis. Di kawasan terlihat hamparan hutan kecil yang dialiran sebuah kecil yaitu Sungai Sokhdian. Kami meninjau kawasan ini sejak pukul 14.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB. Rombongan kami terdiri dari : Paman Sukardin bin Wakif, Ayuk Nur Asmara, Kakak Ridwan, Penulis, Arios, Ferdy.

Hari Kamis 12 Agustus 2010, memetik buah Sawo
    Sawo manila (Manilkara zapota) adalah pohon buah yang berumur panjang. Dalam bahasa Lubai Sawe Menile. Keluarga penulis memiliki sebatang pohon Sawo Manila yang terletak dijalan mandi masyarakat Jiwa Baru. Pohon Sawo ini sangat lebat buahnya dan hampir sepanjang masa berbuah. Pada kesempatan pulang hari ke 5 kami memetik buah Sawo Manila untuk dijadikan oleh-oleh kembali ke kota Bandar Lampung.

Gambar ini diabadikan saat Ayuk Nur Asmara sedang naik pohon sawo hendak memetik buahnya

Hari Jum'at 13 Agustus 2010, Istirahat
     Untuk menjaga kebugaran tubuh menjelang kembali ke kota Bandar Lampung, hari ini kami  istirahat dirumah Paman Sukardin bin Wakif. Tepat pukul 11.55 WIB penulis berangkat ke Masjid untuk melaksanakan Sholat Fardu Jum'at. Bertindak sebagai Khotib yaitu Yonadi bin Bakri seorang teman sewaktu penulis masih kanak-kanak yang merupakan teman main orkesan di desa Jiwa Baru Kecamatan Lubai. Paman Taswir bin Wahid dipercaya untuk menjadi iman Sholat Jum'at. Selesai sholat Jum'at kembali kerumah Paman Sukardin bin Wakif . Kegiatan selanjutnya hanya di isi dengan mengobrol dan makan pempek yang dibikin oleh isterinya Arios anak dari Paman Sukardin bin Wakif.

Hari Sabtu 14 Agustus 2010, kembali keperantauan. 
  Dipagi yang cerah tepat pukul 05.30 WIB kami berangkat dari desa Jiwa Baru menuju kota Prabumulih dengan menggunakan angkutan umum. Tiba di kota Prabumulih pukul 07.00 WIB kami mampir ketoko yang menjual krupuk Palembang, letaknya di jalan utama kota Prabumulih.
  Setelah membeli krupuk untuk dijadikan oleh-oleh pulang kampung ke 9 ini, kami langsung menuju ke Stasiun Prabumulih. Penulis menyuruh anak tertua untuk mengantri karcis Kereta Api kelas Bisnis. Sambil menunggu Kereta Api datang dari Stasiun Kertapati Palembang, kami membeli beberapa ikat Nanas. 
   Menurut jadwal Kereta Api akan memasuki Stasiun Prabumulih, pukul 10.00 WIB. Akan tetapi tepat pukul 11.00 WIB ada pengumuman bahwa kedatangan Kereta Api tertunda, dikarenakan jadwal dari Stasiun Kertapati dirubah. Hal ini terjadi akibat adanya kecelakaan antara Kereta Api Babaraja dengan Kereta Api Rajabasa. 
  Saat waktu telah menunjukkan pukul 13.30 WIB akhirnya terdengar klakson Kereta Api memasuki Stasiun Prabumulih. Kami naik ke gerbong Kereta Api mencari tempat duduk, ternyata tempat duduknya sudah penuh semuanya. Penulis berdiri dari Stasiun Prabumulih sampai ke Stasiun Peninjauan. Setelah berbasi sedikit menanyakan kepada penumpan yang duduk disebelah yang kosong, penulis bertanya apakah kursi disebelah itu ada penumpangnya? dijawab ada. Penulis agak kecewa sedikit, beberapa saat kemudian penumpang yang kursinya ditinggal dikarenakan dia pergi ke Toilet tadi berbaik hati kepada penulis dan memberikan tempat duduknya. Sungguh mulia hatimu anak muda, bathin penulis berkata. Saat ini pemandangan seperti ini, sudah sangat langka.
   Tiba di Stasiun Tanjungkarang waktu telah menunjukkan pukul 22.30 WIB. Perjalanan kembali keperantauan pada kesempatan ini, sungguh sangat melelahkan. Letih badan, penat pikiran akhirnya kondisi penulis sungguh memprihatinkan... 

Pulang kampung ke 8

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

السلام عليكم dan Selamat Sejahtera

   Pulang kampung ke 8 maksudnya sejak penulis menjadi perantau dan tinggal diperantauan Provinsi Lampung, penulis melakukan perjalanan pulang kampung ke desa Jiwa Baru di Kecamatan Lubai Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan, pada kesempatan ini merupakan yang kedelapan.
   Setelah 38 tahun lamanya penulis mengikuti orangtua pergi merantau. Tempat tinggal penulis saat ini berdomisili di Jalan Pangeran Antasari Nomor : 38 Tanjungkarang timur Kota Bandar Lampung Provinsi Lampung, penulis berserta roombongan pulang kampung. Misi pulang kampung ketujuh ini adalah mengurusi tanah lokasi Pesantren Almukhlishin peninggalan orangtua di
desa Jiwa Baru Kecamatan Lubai Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan.  
  Catatan perjalanan ini merupakan sekelumit cerita, penulis melakukan aktivitas selama melakukan perjalanan pulang kampung pada tahun 2008.

13 Juni 2008 Hari Jum'at, Berangkat pulang kampung
     Rombongan pulang kampung ke 8 ini terdiri dari Kakak perempuan kami Nur Asmara,  Penulis, Mustaqim, Alimin Dalil, Rizki anaknya Alimin dan Yurni Asmita. Kami berangkat pukul 09.00 WIB dari Stasiun Tanjungkarang menuju Stasiun Pagar Gunung Kecamatan Lubai. Kereta api  yang kami tumpangi Fajar kelas Bisnis. Stasiun Rajabasa, Stasiun Natar, Stasiun Kotabumi, Stasiun Blambangan Umpu, Stasiun Martapura, Stasiun Baturaja, Stasiun Peninjauan.
    Tiba di Stasiun Pagar Gunung waktu menunjukkan pukul  18.15 WIB. Disana telah menunggu  Kakak Rizwan anak dari wak Anmor, Sangkut dan Arios anak dari Paman Sukardin. Kami langsung menuju kendaraan roda 4 yang dikemudikan oleh Kakak Rizwan untuk melanjutkan perjalanan ke desa Desa Jiwa Baru. Setelah melewati sungai Selanglang, sungai Air Puhun dalam  waktu 20 menit dari Stasiun Pagar Gunung kami serombongan telah sampai dirumah Paman Sukardin.

14 Juni 2008 Hari Sabtu, Ziarah kemakam nenek moyang
    Selesai santapan pagi, kami berziarah kemakam Poyang Riamad bin  Poyang Nata Kerti. Poyang Riamad lebih populer dengan sebutan Poyang Lebi.  Makam beliau terletak didekat rumah Kakak Luth di desa Jiwa Baru Kecamatan Lubai. Banyak tumbuh rumput diatas pusara yang harus kami bersihkan menggunakan cangkul. Setelah dibersihkan penulis berdoa kepada Allah SWT  segala dosa dan kesalahan nenek poyang kami ini diampuni.
   Setelah membersihkan areal pemakaman Poyang Lebi, kami serombongan  menuju areal pemakaman umum desa Jiwa Baru. Ditengah areal pemakaman umum ini bersemayam Kakek  Wakif bin Kenaraf dan ketiga isteri beliau. Rumputnya yang tumbuh disekitar makam tidak terlalu banyak sehingga waktu yang diperlukan tidak terlalu lama untuk membersihkannya.  Penulis  memimpin doa memohon kepada Allaht SWT agar segala dosa dan kesalahan kakek Wakif bin Kenaraf  diampunkan.
     Kegiatan ziarah ini berlanjutkan kepemakaman Poyang Aliakim bin Sinar dan isteri, Kakek Haji Hasan bin Aliakim dan nenek Sedunah binti Abdurrahman yang terletak dipinggir jalan beraspal dekat kalangan atau pasar seminggu 1x desa Jiwa Baru. Ketika tiba diareal pemakaman ini, penulis tertegun ketika menyaksikan kondisi yang cukup memprihatinkan dikarenakan banyak perdu yang tumbuh liar disana disini. Kondisisi diperparah lagi dengan adanya orang yang berjualan didekat areal pemakaman ini, yang terkadang membuang sampah sembarangan. Kami bergotong royong membersihkan areal pemakaman ini, lebih kurang 20 menit waktu yang diperlukan.
     Setelah selesai membersihkan areal pemakaman Kakek Haji Hasan bin Poyang Aliakim, kami serombongan  mampir kerumah Elvi anak dari Paman Sukardin. Mengobrol sebentar, tidak lama kemudian kami disuguhi Teh dan makanan ringan.  Selanjutnya kami dipersilahkan untuk makan siang. 

      Kegiatan selanjutnya beritirahat, setelah tubuh terasa letih...

15 Juni 2008 Hari Minggu, Pergi kelokasi tanah warisan

    Tanah di Muara Bening. Pukul 08.30 WIB dengan mengendarai sepeda motor, kami pergi meninjau Tanah di Muara Bening, Lebak Lubai desa Jiwa Baru kecamatan Lubai. Muara Bening nama sebuah sungai kecil yang letaknya tidak jauh dari sungai Lubai. Tanah yang kami kunjungi ini letak persis diantara sungai Muara Bening dan sungai Lubai. Asal usul tanah dari warisan Ayahanda Muhammad Ibrahim bin Haji Hasan. Kondisi tanah ditumbuhi beberapa tanaman yang masih tersisa yaitu pohon Rambai, Gandaria dan kayu jenis lainnya. Luas tanah lebih 10.000 meter persegi yang berbatasan : sebelah Utara dengan sungai Lubai, sebelah Selatan dengan sungai Muara Bening, sebelah timur dengan tanah wak Molek/wak Kerie Haki, sebelah Barat dengan tanah Kakak Matlani.
     Tanah di Muara Selanglang. Asal usul tanah dari warisan Ayahanda Muhammad Ibrahim bin Haji Hasan. Kondisi tanah ditumbuhi beberapa tanaman yang masih tersisa yaitu pohon Rambai, Gandaria dan kayu jenis lainnya. Luas tanah lebih 30.000 meter persegi yang berbatasan : sebelah Utara dengan Danau Tehap, sebelah Selatan dengan sungai Lubai, sebelah timur dengan tanah Kakak Umar Khotob, sebelah Barat dengan sungai Muara Pegang.
      Tanah di Dataran Bukit Jehing 1. Asal usul tanah dari warisan Ayahanda Muhammad Ibrahim bin Haji Hasan yang semula tanah ini dibeli dari Wak Haji Zainuddin. Kondisi tanah ditumbuhan beberapa jenis kayu hutan. Luas tanah lebih 30.000 meter persegi. Berdasarkan cerita dari adik sepupu penulis yang bernama Milnan bin Muhammad Daud bahwa semula di tanah ini tumbuh berbagai jenis kayu yang sudah besar. Kayu itu ditebang untuk dibuat kayu balok oleh salah seorang kerabat kami yang tanpa izin dari kami, diperkirakan jumlah volumenya 100 meter kubik.
       Tanah di Dataran Bukit Jehing 2. Asal usul tanah dari warisan Ibunda Nafisyah bin Wakif bin Kenaraf. Tanah ini berdasarkan surat musyawarah Ibunda bersaudara tertanggal 16 Maret 1966 yang masing-masing mereke menanda-tangani surat tersebut bahwa tanah di Dataran Bukit Jehing bagian dari Ibunda Nafisyah bin Wakif bin Kenaraf. Luas tanah berdasarkan srat izin membuka lahan dari Kepala Marga Lubai suku 1 tahanu 1958 yang ditanda tangani oleh Pasirah Syarkowi seluas 100 Hektar = 100.000 meter persegi. Kondisi tanah telah beralih fungsi yang semula kebun Serai Wanggi menjadi kebun Karet perorangan milik warga desa Jiwa Baru. Hal ini terjadi dikarenakan mereka mengatas-namakan Proyek Inti Rakyat, sehingga mereka bersama-sama membuka tanah warisan Ibunda kami.  Tepat pukul 15.30 WIB, kami meninggalkan lokasi tanah warisan ibunda kami...


15 Juni 2008 Malam Senin, kembali keperantauan...
      Kami berangkat dari desa Jiwa Baru, pukul 21.00 WIB. Kakak Rizwan mengantar kami dengan kendaraan roda 4 mobil niaga. Tiba di Stasiun Pagar Gunung kami harus menunggu kedatangan Kereta Api Limex Sriwijaya dari Stasiun Kertapati Palembang. Pada perjalanan kembali keperantauan ini
     

Blogged with the Flock Browser

Pulang kampung ke 7


بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

السلام عليكم dan Selamat Sejahtera
Pulang kampung ke 7 maksudnya sejak penulis menjadi perantau dan tinggal diperantauan Provinsi Lampung, penulis melakukan perjalanan pulang kampung ke desa Baru Lubai di Kecamatan Lubai Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan, pada kesempatan ini merupakan yang ketujuh.
 

Penulis sekeluarga saat ini berdomisili di Jalan Pangeran Antasari Nomor : 38 Tanjungkarang timur Kota Bandar Lampung Provinsi Lampung. Misi pulang kampung ketujuh ini adalah menghadiri resepsi Pernikahan anak Haji Efran di desa Jiwa Baru Kecamatan Lubai Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan.  

Catatan perjalanan ini merupakan sekelumit cerita, penulis melakukan aktivitas selama melakukan perjalanan pulang kampung pada tahun 2007.


 

Hari Sabtu, 14 Juli 2007

      Perjalanan pulang kampung ke 7 ini rombongan terdiri dari : Zikriadi, S.E. dan isteri serta anak-anaknya, Penulis dan isteri. Kami berangkat pukul 07.00 WIB, menggunakan kenadaraan roda 4 keluaran pabrik Daihatsu type Xenia. Laju kendaraan rata-rata kecepatan 70 kilo meter perjam, lalu lintas kendaraan stabil sehingga perjalanan kami tanpa hambatan. 
     Kota kecil dan besar yang kami lewati Natar, Bandar Jaya,  Gunung Sugih,  Kotabumi, Bukit Kemuning, Padang Ratu, Martapura. Tiba di Kota Baturaja, pukul 11.00 WIB kendaraan langsung di parkir depan Rumah makan Siang Malam untuk bersantap siang. Selesai bersantap siang, penulis sholat Zuhur di Musholla  Rumah Makan Siang Malam. Perjalanan dilanjutkan kembaili, pukul 12.30 WIB.
     Tiba di desa Jiwa Baru, Kecamatan Lubai kendaraan langsung diarahkan Zikriadi kerumah  Milnan bin Daud sepupu penulis dan merupakan juga adik iparnya Zikriadi. Selama dirumah Milnan kegiatan yang dilakukan beristirahat, makam pempek dan sebagainya. 

Hari Minggu, 15 Juli 2007
 
       Sang mentari memancarkan sinarnya dari ufuk timur. Geliat kehidupan di desa Jiwa Baru Kecamatan Lubai, mulai nampak. Warga yang berprofesi sebagai  petani Karet, pergi ke kebun mengderes  pohon Karet untuk diambil getahnya dalam bahasa Lubai yaitu Nakok Balam. Kami serombongan pergi menghadiri resepsi pernikahan putra Haji Efran yang dilaksanakan ditengah desa Jiwa Baru Kecamatan Lubai, pukul 09.00 WIB.  
      Prosesi resepsi pernikahan dimulai kedua mempelai pengantin dengan  di-iringi keluarganya menuju tempat kursi pelamin yang posisinya arah sebelah Barat. Saat mempelai menuju kepelaminan ini, musik dari Grup Delvi 2000 Kota Palembang mendendangkan sebuah instrumentalia lagu Gending Sriwijaya. Beberapa penari wanita melengok-lengokan tubunya mengikuti irama lagu Gending Sriwijaya. Tarian masih dilanjutkan walaupun sang mempelai dan orangtua telah duduk ditempat yang telah disedikan. Suatu pemandangan yang sangat berkesan adalah ketika sang pengantin wanita menjadi penari paling sentral untuk mengakhiri Tarian Gending Sriwijaya.

        Acara resepsi pernikahan dibuka oleh Protokol, Sambutan sohibul hajat, Sambutan Kepala Desa Jiwa Baru. Hiburan musik diawali dengan untuk tamu kehormatan Kepala desa Jiwa Baru, Kepala desa Sugih Rawas dan Putra Jiwa Baru yang menjadi tokoh di Palembang (Anggota DPRD), masing-masing diminta untuk menyumbang sebuah lagu  pavoritnya dengan di iringi Grup musik Delvi 2000 kota Palembang.
         Selanjutnya setelah tamu kehormatan menghibur hadirin, dilaksanakan  acara yang paling meriah, paling unik dan paling heboh yaitu acara pelelangan Kue dan Ayam Bakar. Acara lelang ini mirip seperti lelang ikan di tempat pelelangan ikan. Sang pembawa acara memberikan tawaran harga misalnya Rp. 300.000 1x, 2x kepada sifulan dari desa anu, dengan suaru naik turun, tinggi rendah iramanya. Apabila masih ada yang berani menawar harga yang lebih tinggi maka penawaran masih akan berlangsung. Setelah dihitung sebanyak 3x tidak ada lagi yang menawar maka ditetapkan siapa pemenangnya itu. Acara lelang Kue dan Ayam bakar ini berlangsung selama 1 (satu) jam. 
    Suatu tradsi di desa Jiwa Baru Kecataman Lubai, tamu undangan tidak memberikan bingkisan berupa uang di dalam sampul/amplop tetapi melalui acara lelang ini. Uang yang terkumpul lansung disebutnya jumlahnya. Sehingga masyarakat pedesaan dan tamu undangan dapat mengetahui berapa uang yang terkumpul. Sungguh acara yang unik dan heboh dan menyegarkan.
    Tibalah waktunya santap siang pada pukul 12.30 WIB. Sebelum kami pamitan kepada kedua mempelai isteri Zikriadi dan istei penulis menyanyikan sebuah lagu berjudul Terlamat sebuah tembang yang dipopulerkan oleh Idal Laila bersama Orkes Melayu Awara dan penulis menyanyikan sebuah lagu berjudul Tungkripit sebuah tembang yang dipopulerkan oleh Rhoma Irama bersama Orkes Melayu Soneta. 
     Kami berpamitan kepada kedua mempelai dan keluarga, untuk kembali keperantauan kota Bandar Lampung, pukul 13.00 WIB. Kendaraan melaju dengan kecepatan rata-rata 70 kilometer perjam, desa Pagara Gunung, Beringin, Aur, Karang Agung, Lecah, Lubuk Batang, kota Baturaja, Martapura, Padangratu, Bukit Kemuning, Kotabumi, Gunung Sugih, Bandar Jaya, Natar memasuki tugu Raden Intan tepat pukul 20.00 WIB. Tiba kembali dirumah, pukul 20.20 WIB. Suatu perjalanan yang melelahkan namun sungguh menyenangkan...
Blogged with the Flock Browser

Pulang kampung ke 6

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


السلام عليكم dan Selamat Sejahtera

      Pulang kampung ke 6 maksudnya sejak penulis menjadi perantau dan tinggal diperantauan Provinsi Lampung, penulis melakukan perjalanan pulang kampung ke desa Jiwa Baru di Kecamatan Lubai Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan, pada kesempatan ini merupakan yang ke-enam.
      Setelah 29 tahun lamanya penulis mengikuti orangtua pergi merantau. Keluarga besar penulis saat ini berdomisili di Jalan Pangeran Antasari Nomor : 38 Tanjungkarang timur Kota Bandar Lampung Provinsi Lampun, penulis beserta anak dan iseteri pulang kampung. Misi pulang kampung ke-enam ini adalah ziarah ke Makam Kakek Haji Hasan bin Aliakim. Perjalanan pulang kampung kali ini pun dapat dikatakan perjalanan yang singkat, karena hanya 1 hari. Mungkin tidak tepat jika dikatakan sebagai Pulang kampung, melainkan hanya mampir ke kampung halaman.

      Catatan perjalanan ini merupakan sekelumit cerita, penulis melakukan aktivitas selama melakukan perjalanan pulang kampung pada tahun 1999.

23 Juli 1999, Dari Kota Palembang ke desa Jiwa Baru
      Perjalanan pulang kampung dari Kota Palembang menuju desa Jiwa Baru Kecamatan Lubai, munggunakan kendaraan roda 4 keluaran pabrik Suzuki type minibus. Rombongan kami pulang kampung ke 6 terdiri dari : Kakak Hendra Malwadi dan isteri serta anak-anak, Penulis dan isteri serta anak-anak. Berangkat dari Kota Palembang, pukul 11.00 WIB;
        Kendaraan melaju dengan kecepatan rata-rata 60 kilometer per jam. Tiba di desa Jiwa Baru pukul 12.30 WIB, kami langsung menuju rumah sepupu Kakak Hendra Malwadi yaitu Rawati yang terletak dekat Danau Jambu Humbai. Dirumah Rawati kami santap siang dilanjutkan sholat Zuhur dan beristirahat sejenak.
Berselang beberapa waktu kemudian, kami berziarah kemakam Kakek Haji Hasan bin Aliakim yang terletak dipinggir jalan beraspal dekat kalangan atau pasar seminggu 1x desa Jiwa Baru. Ketika tiba diareal pemakaman ini, penulis tertegun ketika menyaksikan kondisi yang cukup memprihatinkan dikarenakan banyak perdu yang tumbuh liar disana disini. Kondisisi diperparah lagi dengan adanya orang yang berjualan didekat areal pemakaman ini, yang terkadang membuarng sampah sembarangan. Kami bergotong royong membersihkan areal pemakaman ini, lebih kurang 30 menit waktu yang diperlukan.
        Setelah selesai membersihkan areal pemakaman, kami serombongan mampir kerumah Paman Sukardin. Mengobrol sebentar, tidak lama kemudian kami disuguhi Teh dan Pisang Ambon. Kami beberapa saat menghabiskan Teh, selanjutnya pamit. Perjalanan kembali dilanjutkan menuju tempat penulis waktu kecil banyak menghabiskan waktu disitu. Sebuah tempat berdiri pohon Kelapa yang ditanam oleh Ayahanda Muhammad Ibrahim. Pohon Kelapa itu, walaupun tidak pernah di pelihara ternyata masih memberikan buahnya yang sangat banyak. Kami mengambil beberapa buah kelapa yang agak tua dan yang masih muda.     Tanpa disadari waktu telah menunjukkan pukul 16.00 Rabu sore.
        Selesai dari mengambil Kelapa, saatnya penulis dan rombongan untuk kembali ke Palembang. Sebelum kembali ke Palembang kami pamit dulu Rawati sekeluarga. Setelah berperpamitan ke rumah Rawati, maka kami melanjutkan perjalanan, tepat pukul 16.30 WIB. Tiba di kota Palembang, hari sudah malam...
 
Blogged with the Flock Browser

Pulang kampung ke 5

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


السلام عليكم dan Selamat Sejahtera


Pulang kampung ke 5 maksudnya sejak penulis menjadi perantau dan tinggal diperantauan Provinsi Lampung, penulis melakukan perjalanan pulang kampung ke desa Baru Lubai di Kecamatan Prabumulih Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan, pada kesempatan ini merupakan yang kelima.
Setelah dua puluh tahun lamanya penulis mengikuti orangtua pergi merantau. Keluarga besar penulis saat ini berdomisili di Jalan Wibisono Nomor : 47 Tanjungkarang Kota Bandar Lampung Provinsi Lampun, penulis diajak Kakak sulung pulang kampung. Misi pulang kampung kelima ini adalah menghadiri resepsi pernikahan adik ipar Kakak sulung kami akan melangsungkan pernikahannya.

Catatan perjalanan ini merupakan sekelumit cerita, penulis melakukan aktivitas selama melakukan perjalanan pulang kampung pada tahun 1990.

17 Maret 1990, Berangkat pulang kampung
       Rombongan pulang kampung ke 5 ini terdiri dari :  Ibunda, Kakak sulung, Kakak perempuan, Adik perempuan, Lina Nungcik, Andi Tiawarman, Penulis dan driver Alexander. Kendaraan yang dipergunakan adalah minibus keluaran pabrik chevrolet. Kami berangkat pukul 17.00 WIB dari rumah di Jl. Wibisono Nomor 43 Tanjung Agung Tanjungkarang Timur Bandar Lampung, menuju Kotabumi.
       Tiba di Kotabumi pukul 20.00 WIB kami serombongan mampir ke Restoran untuk santap malam, semua menyantap dengan penuh semangat. Selesai santap malam, perjalanan dilanjutkan kembali, mobil melaju dengan kecepatan rata-rata 60 kilomter perjam.
        Menjelang perbatasan Provinsi Lampung dan Provinsi Sumatera Selatan, kami kembali mampir ke Rumah makan yang lokasinya persis terletak di lintas tengah Sumatera. Ada  yang memesan kopi, ada yang memesan teh. Khususnya Alexander sibagai sang driver diberikan waktu untuk merokok dan beristirahat waktu telah menunjukkan pukul 12.00 WIB.
         Penulis terbangun dari tidur pukul 02.00 dinihari, kendaraan berhenti di kota Baturja. Awalnya penulis mengira bahwa kami telah sampai ditujuan. Ternyata Alexander merasa sangat mengantuk sehingga diperlukan untuk mengganti yang membawa mobil. Kakak sulung penulis akhirnya menggantikan posisi driver.
          Ketika rombongan kami telah memasuki wilayah desa Lecah Kecamatan Rambang Lubai, suasana sangat mencekam. Kendaraan tidak ada satupun yang melintas. Kakak sulung berkata kepada penulis, berdoalah kepada Allah SWT agar kita terhindar dari mara-bahaya dan mala-petaka. 
           Kecelakaan hampir saja terjadi, Kakak sulung agak mengantuk sehingga kendaraan sempat keluar dari jalan beraspal. Alhamdu lillah kendaraan dapat dikendalikan kembali, oleh Kakak sulung penulis. Menjelang waktu sholat Subuh, pukul 04.00 WIB kami tiba dirumah Paman Sukardin pada hari Jum'at.

18 Maret 1990, Tiba di desa Jiwa Baru
      Akibat rasa penat dan lelah selama dalam perjalanan penulis tertidur dari pukul 05.00 WIB, terbangun waktu pukul 11.00 WIB. Pada sore harinya kami diajak oleh saudara sepupu penulis Sangkut Novriada untuk bersama-sama mandi di Sungai Lubai. Mandi ke sungai Lubai ini membuat kenangan  yang dialami penulis kecil dulu membayang kembali. Pernah suatu ketika penulis mandi di sungai Lubai, menancapkan sebatang kayu dipinggir sungai Lubai untuk menempatkan pakaian. Tancapan kayu itu ternyata bergerak dikarenakan pasir dibawah oleh air. Penulis bersama teman-teman asyik bermain dengan air, tanpa disadari kayu dan pakaian penulis telah hanyut dibawah oleh air.
     Tepat pukul 21.00 WIB hari Sabtu, penulis dan Alexander masuk ketenda Resepsi Pernikahan adik ipar Kakak sulung penulis. Ketika memasuki tenda disana tertulis dari desa Pagar Gunung, Kotabaru, Beringin, Gunung Raja dan sebagainya. Penulis semula binggung, ingin duduk dibarisan desa mana. Akhirnya tanpa pikir lebih lama, kami duduk di barisan desa Pagar Gunung. Pada saat penulis menghadiri pesta ini, pakaian yang dikenakan adalah celana Jean dan Baju Kaos warna hijau. Saat itu ada yang bertanya kepada penulis tugas dimana? Ada yang mengira bahwa penulis merupakan salah seorang intel dari aparat Kepolisian.
    
19 Maret 1990,  Kembali keperantauan...


       Kami serombongan kembali berangkat untuk menuju kota Baturaja, pukul 14.00 WIB dari desa Kurungan Jiwa. Semula kami ingin mampir ke Desa Peninjauan OKU, akan melihat kondisi jalan yang tidak baik kami akhirnya membatalkannya.
        Tiba di kota Baturaja 18.30 WIB, kami mampir ke Rumah makan yang terletak dipinggir jalan raya Baturaja ke Prabumulih untuk santap malam. Selesai santapan malam dan beristirahat sebentar perjalanan dilanjutkan kembali menuju Martapura, Kotabumi dan Bandarjaya. Sepanjang perjalanan penulis tertidur pulas. Ketika terbangun, telah sampai kembali didepan rumah di Tanjungkarang, menjelang waktu sholat Subuh...

Blogged with the Flock Browser

Cerita 7