Selasa, 19 April 2011

Cerpulkam ke 4

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
السلام عليكم dan Selamat Sejahtera

Cerita Pulang kampung ke 4 maksudnya sejak penulis menjadi perantau dan tinggal diperantauan Provinsi Lampung, penulis melakukan perjalanan pulang kampung ke desa Baru Lubai di Kecamatan Prabumulih Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan, pada kesempatan ini merupakan yang ke-empat. 

Setelah tujuh belas tahun lamanya penulis mengikuti orangtua pergi merantau. Keluarga besar penulis saat ini berdomisili di Jalan Wibisono Nomor : 47 Tanjungkarang Kota Bandar Lampung Provinsi Lampung, penulis dan Ayahanda pulang kampung. Misi pulang kampung ke-empat ini adalah mengurusi tanah lahan pertanian di Dataran Bukit Jehing, Desa Jiwa Baru Kecamatan Lubai Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan.

Catatan perjalanan ini merupakan sekelumit cerita, penulis melakukan aktivitas selama melakukan perjalanan pulang kampung pada tahun 1987.



Tanggal 21 September 1987

   Berangkat pulang kampung...! Penulis dan Ayahanda berangkat pukul 09.00 WIB dari Stasiun Tanjungkarang menuju Stasiun Prabumulih. Kami berangkat naik Kereta api Fajar kelas Bisnis. Stasiun demi stasiun dilewati penulis coba untuk menghapal nama-namanya. Nama stasiun yang masih ingat yaitu : Stasiun Rajabasa, Stasiun Natar, Stasiun Kotabumi, Stasiun Blambangan Umpu, Stasiun Martapura,  Stasiun  Baturaja, Stasiun Peninjauan, Stasiun Pagar Gunung, Stasiun Tanjung Rambang, Stasiun Prabumulih.
      Tiba di Prabumulih waktu menunjukkan pukul 20.00 WIB, dari Stasiun kereta api menuju rumah Paman M. Haris penulis dan Ayahanda berjalan kaki. Hal ini kami lakukan dikarenakan jarak tempuhnya tidak terlalu jauh. Setelah sampai dirumah Paman beristirahat sebentar, dilanjutkan mandi dan sholat Isyak. Selesai sholat Isyak, kami dipersilakan makan oleh sepupuku anak paman M. Haris. Selesai makan malam, mengobrol sebentar akhirnya kami tertidur, pukul 23.00 WIB.


Tanggal 22 September 1987 

     Berangkat ke desa Jiwa Baru. Berangkat dari Prabumulih pukul 09.30 WIB kami naik angkutan umum, sebuah Bus Milik Fantazir dari desa Jiwa Baru. Rute yang ditempuh melalui desa Kayu Are, Desa Tanjung Kemala  sehingga sampai ke desa Jiwa Baru waktu telah menunjukkan pukul 12.30 WIB.
      Makan siang dirumah Paman Sukardin dan sholat Zuhur dan sore harinya kami menuju kerumah Ayah mertua Kakak sulung kami. Saat tiba  waktu sholat Maghrib kami melakukannya berjemaah di Masjid kebangaan  masyarakat Jiwa Baru, yang menjadi imam Kakak Umar Chottob. Kata Ayahanda penulis bahwa tanah Masjid ini merupakan wakaf dari  Poyang Riamad, dikenal oleh masyarakat setempat Poyang Lebi.
   Setelah kami sholat Isyak berjemaah dilanjutkan dengan makan malam pada pukul 19.30 WIB. Selanjutnya Ayahanda penulis menyampaikan kepada Ayah mertua Kakak sulung maksud dan tujuan kami pulang ini adalah ingin mengurusi areal pertanian di Dataran Bukit Jehing yang saat ini dibuka oleh masyarakat Jiwa Baru. Kesimpulan dari obrolan ini adalah besok pagi Ayahanda dan penulis dianjurkan melihat tanah itu.

Tanggal 23 September 1987

     Menginventarisir tanaman di Dataran Bukit Jehing. Saat mentari menyinari bumi tempat kelahiranku, kami pergi melihat tanah yang dibuka oleh masyarakat Jiwa Baru, pukul 08.00 WIB. Ayahanda naik sepeda motor digonceng oleh April. Penulis dengan mengendarai sepeda milik Kakak Autad. Tiba dilokasi kami memulai menginventarisir seperti : Kayu dengan diameter 35 centimeter 125 batang, kayu berdiameter 25 centimter 350 batang, Serai Jambi hanya tersisa tunggul-tunggulnya saja. Kami memandang dilahan yang dulunya tumbuh subur Serai Jambi itu kini yang nampak hanya warna hitam belaka. Warna hitam ini terdiri dari sisa pembakaran lahan seperti kayu dan Serai Jambi.
    Semua tunggul kayu kami beri tanda merah, selanjutnya dengan menggunakan tali kami mengukur areal yang telah dibuka diperkirakan lebih kurang 70 hektar, dan lahan yang belum dibuka lebih kurang 30  hektar yang ditumbuhan perdu dan kayu-kayu pelawan dalam bahasa Lubai...

     Kerumah Kepala Desa. Penulis dan Ayahanda pergi kerumah Kepala Desa Kurungan Jiwa, Kecamatan Rambang Lubai Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan, pukul 19.30 WIB. Ayahanda penulis mengutarakan maksud dan tujuan kedatangan kami kerumah beliau yaitu inti permasalahannya adalah bagaimana penyelesaian areal perkebunan keluarga besar kami yang saat ini telah dibuka oleh masyarakat Baru Lubai dan Kurungan Jiwa.
    Penjelasan dari Kepala Desa Kurungan Jiwa bahwa pembukaan lahan ini merupakan program dari pemerintah Sumatera Selatan dalam rangka Peremajaan Inti Rakyat atau PIR. Kesimpulan dari pembicaraan antara Ayahanda penulis dengan Kepala Desa Kurungan Jiwa adalah bahwa lahan yang telah dibuka akan diganti rugi sebesar Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) perhektar.
      Ayahanda penulis berpikir sejenak keputusan apa yang akan diambil. Apabila ganti rugi ini diterima maka konsekuensinya kami harus rela melepaskan hak penggunaan tanah warisan ini. Dan sebaliknya apabila tidak diterima ganti rugi ini maka kami tidak mendapatkan apa-apa dari aspek materil, namun secara prinsip hak penggunaan tanah tersebut belum kami berikan.
     Setelah tidak ada kata sepakat penulis dan Ayahanda pamit kepada Kepala Desa Kurungan Jiwa, dan kamipun kembali kerumah Ayahanda mertua Kakak sulung penulis, pukul 22.00 WIB.


Tanggal 24 September 1987

     Pergi ke Tanah Bakal Luhus dan Gumsuruman. Penulis pergi menggunakan sepeda motor milik Paman Muhammad Haris dan Ayahanda  naik motor digonceng oleh April. Hari ini kami pergi melihat tanah di Bakal luhus  bekas areal tempat usaha pembuatan Bangsal  Genting dan Bata yang dikelola oleh Ayahanda pada awal kemerdekaan  setelah beliau memutuskan tidak  ingin aktif instansi pemerintah. Letak tanah ini sangat strategis terletak dipinggir jalan beraspal dan dekat rawa-rawa yang banyak tanah liatnya sehingga sangat cocok untuk dijadikan tempat usaha pembuatan Batu bata dan Genting..
      Selanjutnya kami pergi melihat kebun Karet yang terletak di Daerah Gumsuruman yang saat itu dikelola oleh April. Batang Karet masih terawat dan kayu tumbuh untuk dijadikan bahan cukup banyak. Setelah beberapa saat melihat lokasi kebun Karet ini, kamipun pulang kembali ke desa Kurungan Jiwa.

Tanggal 25 September 1987

   Kembali keperantauan. Berangkat dari desa Kurungan Jiwa, pukul 08.30 WIB kami berangkat menggunakan Angkutan umum sebuah Bus milik Fantazir. Rutenye melalui desa Gunung Raja, Kayu Ara sehingga sampai ke Prabumulih. Tiba di Prabumulih pukul 10.30 WIB, kami langsung menuju  Stasiun  Kereta api  Prabumulih. Kami berangkat menggunakan Kereta Api Fajar  kelas Bisnis, pukul 11.00 WIB dari Stasiun Prabumulih menuju Satsiun Tanjungkarang.


Catatan :
      Ayahanda Muhammad Ibrahim bin Haji Hasan dan Ibunda  Nafisyah binti Wakif berpesan kepada penulis dan saudara-saudara penulis yang lainnya, bahwa mereka tidak ridho tanah di Dataran Bukit Jehing yang merupakan bagian dari warisan diambil oleh pihak yang tidak ada  hubungan nasap dengan Kakek Wakif bin Poyang Kenaraf.
      Mengenai kerugian secara materi maupun imateri akibat dari hilangnya hak penggunaan tanah tersebut, orangtua kami tersebut memilih menyerahkan sepenuhnya kepada pengadilan Allah Subhanahu wata'ala pada hari hisab di akhirat.


1. Hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha bahwasanya telah bersabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ ظَلَمَ قِيْدَ شِبْرٍ مِنَ الأَرْضِ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ
“Barang siapa yang berbuat zhalim (dengan mengambil) sejengkal tanah maka dia akan dikalungi (dengan tanah) dari tujuh lapis bumi.”
2. Hadits yang diriwayatkan dari Sa’id bin Zaid rodhiyallohu ‘anhu bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berasabda:
مَنْ ظَلَمَ مِنَ الأَرْضِ شَيْئًا طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ
“Barang siapa yang mengambil sejengkal tanah secara zhalim maka dia akan dikalungit (dengan tanah) dari tujuh lapis bumi.”
3. Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar rodhiyallohu ‘anhuma, dia berkata bersabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَخَذَ مِنَ الأَرْضِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ خُسِفَ لَهُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى سَبْعِ أَرَضِيْنَ
“Barang siapa yang mengambil tanah (meskipun) sedikit tanpa haknya maka dia akan ditenggelamkan dengan tanahnya pada hari kiamat sampai ke dasar tujuh lapis bumi.”
4. Hadits yang diriwayatkan dari Ya’la bin Murrah rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata telah bersabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:
أَيُّمَا رَجُلٍ ظَلَمَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ كَلَّهُ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ أَنْ يَحْفِرَهُ حَتَّى يَبْلُغَ آخِرَ سَبْعِ أَرَضِيْنَ, ثُمَّ يُطَوِّقَهُ إَلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَقْضَى بَيْنَ النَّاسِ
“Siapa saja orang yang menzhalimi (dengan) mengambil sejengkal tanah (orang lain), niscaya Alloh akan membebaninya hingga hari kiamat dari tujuh lapis bumi, lalu Alloh akan mengalungkannya (di lehernya) pada hari kiamat sampai seluruh manusia diadili.”
5. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Tsabit rodhiyallohu ‘anhu, ia berkata; aku mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَخَذَ اَرْضًا بِغَيْرِ حَقِّهَا كُلِّفَ أَنْ يَحْمِلَ تُرَابَهَا إِلَى الْمَحْشَرِ
“Barangsiapa yang mengambil tanah tanpa ada haknya, maka dia akan dibebani dengan membawa tanahnya (yang dia rampas) sampai ke padang mahsyar” 
Itulah beberapa hadits yang menerangkan tentang masalah merampas atau mengambil tanah yang dapat di ambil banyak pelajaran, diantarnya:


1 ha = 100 a = 10000 = 1 hm² = 0,01 km²
1 km² = 100 ha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerita 7